Foto saya
Benteng, Sulawesi selatan, Indonesia
KIPAS Bulo Batti' ( Komunitas Pencinta Alam dan Seni Budaya Selayar )

Kamis, 22 Agustus 2013

Ir. Soekarno

HARUS BERANI TERJUN. Bung Karno melambaikan tangan kepada massa rakyat yang menjemput dirinya beserta rombongan saat tiba di Lapangan Bandara Udara Kemayoran, Jakarta, dari ‘kota Hijrah’, Yogyakarta, pada tanggal 29 Desember 1949. ”Barang siapa jang ingin mutiara harus berani terjun di lautan jang dalam. Janganlah lembek, mohon pada Tuhan supaya bangsa Indonesia menjadi satu bangsa yang jaya di dunia, menjadi bangsa kuat dan tabah”. Bung Karno, 17 Agustus 1946 Foto: Henri Cartier-Bresson/Magnumphotos.
NASIBMU DI TANGAN KAMU SENDIRI. Bung Karno tengah menyampaikan ceramah pada Kursus Wanita di Gedung Agung, Yogyakarta, tahun 1947. Di Kursus yang diselenggarakan setiap dua minggu sekali itu, Bung Karno berharap gerakan wanita Indonesia tidak sekedar menjadikan persamaan hak sebagai tujuannya, tetapi juga harus terlibat dalam perjuangan nasional dalam membentuk masyarakat yang adil dan makmur. “...Dan kamu, kaum wanita Indonesia, ‐ akhirnya nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saya memberi peringatan kepada kaum laki‐laki itu untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perjuangan, tetapi kamu sendiri harus menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam perjuangan...” Bung Karno dalam buku Sarinah; Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia
MENGUBAH DIRI DALAM BERBAGAI BENTUK. Bung Karno tengah berpidato di pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung, 18 April 1955. Bung Karno memulai pidato yang diberi judul Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru (Let a New Asia and New Africa Be Born) pada pukul 10.20 WIB dan mengakhirinya pukul 10.45 WIB. Berkat gagasan Bung Karno menyelenggarakan KAA tersebut, sejumlah negara di Asia-Afrika berhasil memperoleh kemerdekaannya. “Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.” Bung Karno, Pidato “Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru” pada pembukaan Konferensi Asia Afrika, Bandung, April 1955. Foto: Howard Sochurek/Life
KETETAPAN HATI. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, ketua menyelenggara Konferensi Asia-Afrika, Bandung, menyambut kedatangan Bung Karno.Selain menjabat Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo juga pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan dan Menteri Pengajaran. Semasa mudanya, aktif di Perhimpunan Indonesia,Partai Nasionalis Indonesia, dan Partindo.“Kita semuanya, saya yakin, adalah dipersatukan oleh hal-hal yang lebih penting daripada yang tampak memisahkan kita. Kita bersatu, misalnya, oleh sikap yang sama dalam membenci kolonialisme dalam bentuk apa saja ia muncul. Dan kita bersatu dalam hal membenci rasialisme. Dan kita bersatu karena ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia.” Bung Karno, Pidato “Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru” pada pembukaan Konferensi Asia Afrika, Bandung, April 1955. Foto: Howard Sochurek/Life
KEMERDEKAAN ITU ADALAH TANGGUNG JAWAB. Bung Karno memberikan pidato sambutan pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung, 1955. Tampak di meja depan, PM Jawaharlal Nehru (India) PM U Nu (Myanmar), Bung Hatta, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, PM Sir John Kotelawala (Sri Lanka), dan PM Muhammad Ali Bogra (Pakistan). “Kemerdekaan itu adalah tanggung jawab. Kita mempunyai tanggung jawab berat terhadap diri sendiri, terhadap dunia, dan terhadap angkatan yang akan lahir. Tetapi kita tidak menyesal karenanya. Kemudian segera kami berhadapan dengan keharusan memberi isi dan arti kepada kemerdekaan kami. Bukan hanya isi dan arti materiil, melainkan isi etika dan moral. Sebab, kemerdekaan tanpa etika dan moral adalah semata-mata imitasi, tiruan yang hampa, daripada apa yang kita cita-citakan.” Bung Karno, Pidato “Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru” pada pembukaan Konferensi Asia Afrika, Bandung, April 1955.
SEKALI LAGI: ILMU UNTUK AMAL & JANGAN ILMU YG STERIL. Bung Karno saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Pengetahuan Teknik dari Universitas Berlin, Jerman, pada tanggal 23 Juni 1956. Gelar tersebut merupakan gelar Doktor Honoris Causa yang keenam. Sepanjang hidupnya Bung Karno dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari 26 universitas di seluruh dunia, 19 gelar dari universitas luar negeri dan 7 gelar lainnya dari universitas terkemuka di Indonesia. “Selamilah terus lautan-ilmu pengetahuan, tapi jangan tenggelam! Jangan “mati” di dasarnya lautan ilmu pengetahuan itu. Timbullah kembali dengan membawa mutiara untuk perhiasan Ibu Pertiwi. Karena itu, sekali lagi: Ilmu Untuk Amal, Dan Jangan Ilmu Yang Steril,” Bung Karno, April 1959.
Bung Karno & Anak-anak. Bung Karno bermain dengan anak-anak dengan cara mengajarkan Lagu Kebangsaan & Lagu-lagu Nasional. Bangka 1949. #BungKarno #BK
ILMU & AMAL. Draft ijazah penganugerahan Doctor Honoris Causa untuk Bung Karno dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1951. Bung Karno mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari 26 universitas di seluruh dunia, 19 gelar dari universitas luar negeri dan 7 gelar lainnya dari universitas terkemuka di Indonesia. "Bagi saya ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa, atau prakteknya hidupnya dunia kemanusiaan. Memang Alhamdulillah sejak muda, saya ingin mengabdi kepada praktek hidup manusia, bangsa, dan dunia kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan Ilmu dan Amal; menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuaan ialah untuk perbuatan. Dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan." Bung Karno, pidato di Universitas Gadjah Mada, 19 September 1951,
NEGARA MERDEKA. Bung Karno menghadiri rapat raksasa yang digalang oleh para pemuda atas usul Tan Malaka di Lapangan Ikada, pada tanggal 19 September 1945. Rapat yang dihadiri ribuan rakyat tersebut berhasil membuktikan kepada Jepang dan dunia Internasional bahwa rakyat Indonesia siap menentukan nasibnya sendiri sebagai Negara Merdeka. “Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan…“ Bung Karno, 19 September 1945. Foto koleksi: IPPHOS
MENGAMBIL NASIB DI TANGAN SENDIRI. Bung Karno dan Bung Hatta tengah memperhatikan sambutan Ketua Panitia Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Raden Soewirjo (Wakil Walikota Jakarta), pada tanggal 17 Agustus 1945 di kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56. “Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Bung Karno, 17 Agustus 1945.
SOAL PANGAN. Bung Karno dan rombongan melepas lelah sambil memandang persawahan saat berkunjung ke Parepare, Sulawesi Selatan, pada tahun 1958. “...Jadilah pahlawan pembangunan! Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat apa kita Bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga? BK, Peletakkan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Bogor, 27 April 1952
Bung Karno saat memberikan kursus politik kepada para wanita di Istana Presiden di Yogyakarta, pada tahun 1947. “Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu pihak menindas kepada yang lain, tak peduli pihak mana yang menindas dan tak peduli pihak mana yang tertindas. Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.” BK, Sarinah.
MEMECAHKAN KESULITAN. Bung Karno dipotret oleh Henri Cartier-Bresson, fotografer asal Prancis, di depan lukisan Kawan-kawan Revolusi karya Sindudarsono Sudjojono, pada tahun 1949. “Kesulitan-kesulitan kita hanya akan dapat kita atasi dengan keuletan seperti keuletannya orang yang mendaki gunung. Tetapi: Berbahagialah sesuatu bangsa yang berani menghadapi kenyataan demikian itu! Berani menerima bahwa kesulitan-kesulitannya tidak akan lenyap dalam tempo satu malam, dan berani pula menjingsingkan lengan-bajunya untuk memecahkan kesulitan-kesulitan itu dengan segenap tenaganya sendiri dan segenap kecerdasannya sendiri.” BK, 1959.
MANUSIA BEBAS. Bung Karno menyambut Bung Sjahrir di kamar kerjanya di Kepresidenan Yogya, pada tahun 1949. Tampak Bu Fat, Mr. Kusuma Utoyo dan Mr. Syamsudin turut mendampingi. “Marilah kita kenangkan, bahwa tujuan manusia yang tertinggi ialah: pembebasan manusia dari belenggu ketakutannya, dari belenggu yang menurunkan derajatnya, dari belenggu kemiskinannya...” BK, KAA Bandung, 1955.
THINK & RETHINK. Bung Karno dan Bung Hatta saat menghadiri Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Malang, pada tahun 1947. Foto kedua Bapak Bangsa tersebut diabadikan oleh Cas Oorthuys, juru foto asal Belanda. “Tepat pada waktunya, kita menjalankan think and rethink (berpikir dan memikirkan kembali), dan kita melihat penyelewengan itu, dan kita bongkar penyelewengan itu, dan kita banting-stir kembali ke jalan yang benar.” BK, 1959.
TINGGALKAN PIKIRAN KOLOT. Bung Karno pakai stelan safari putih, di papan tulis tertera huruf e pepak, pada awal 50an. “Mari kita maju melompat, mari kita tinggalkan pikiran-pikiran kolot, mari kita banting stir, banting stir – karena tidak ada kemungkinan lain, karena jalan lain yang lebih mudah dan lebih aman tidaklah ada.” Bung Karno, Berdikari, 11 April 65.
KITA TIDAK LEMAH. Bung Karno menyampaikan pidato saat meresmikan renovasi candi Prambanan, Yogyakarta, pada tahun 1953. “Kita tidak lemah, sekali lagi tidak lemah. Kalau kita lemah, maka sebenarnya yang lemah ialah kita punja hati. Jaga hatimu, jaga jiwamu, jaga rohmu. Selama hatimu kuat, selama jiwamu kuat, selama rohmu kuat, bangsa Indonesia tetap kuat. Bangsa Indonesia akan mencapai segala apa yang diidam-idamkan berpuluh-puluh tahun.” BK, 20 Mei 1958.
PENGKHIANAT. Salah satu ekspresi Bung Karno saat berorasi di Semarang, Jawa Tengah. “Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Impala, auto Mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul. Tiap-tiap hari makan empat, lima, enam, tujuh kali. Ya, seluruh rumahnya itu laksana ditabur dengan ratna mutu manikam, kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah. Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang yang demikian itu menjadi kaya oleh karena korupsi. Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan yang Maha Esa, adalah orang yang rendah. Di wajah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah orang yang rendah!” BK, Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia, 12 Mei 1964
BERCITA-CITALAH. Bung Karno menyapa anak-anak saat berkeliling desa di sekitar Yogyakarta. “Dan sekarang aku berhadapan dengan pemuda-pemudi Indonesia-pun aku berkata, hai pemuda dan pemudi Indonesia, jadilah pemuda yang bercita-cita, jadilah pemudi yang bercita-cita, jadilah pemudi yang bercita-cita, jadilah pemuda yang bercita-cita. BK, Bercita-citalah Setinggi Bintang Di Langit, 1964.
HIDUP YANG LAYAK TANPA KEMISKINAN. Bung Karno bersama Ibu Fat tengah berdialog dan beramah tamah dengan petani di Yogyakarta sekitar tahun 1946. “Tujuan dari gerakan rakyat itu ialah untuk satu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur tanpa penghisapan, tanpa kemiskinan, tanpa kemudaratan, tanpa kemelaratan, tanpa hidup yang tidak layak.” BK, Mubes Tani se-Indonesia, 20 Juli 1965.
REPUBLIK YANG BERDAULAT. Bung Karno menyambut rombongan pawai pemuda-pemudi Indonesia peserta Kongres Pemuda di Alun-alun Utara Yogyakarta pada November 1945. “...berusahalah, berjuanglah, peraslah engkau-punya tenaga dan keringat, agar supaya negara Republik Indonesia yang berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke menjadi negara yang kuat, Republik yang kuat, Republik yang berdaulat, Republik yang disegani dan dihormati oleh seluruh umat manusia di dunia ini...” BK, Mubes Tani, 20 Juli 1965.
DEDICATION OF LIFE. Bung Karno saat memberikan kursus wanita di Istana Kepresidenan Yogyakarta, sekitar tahun 1948. “Hanya manusis yang mempunyai dan menyelenggarakan dedication of life (dedikasi hidup) bisa menjadi manusia yang dinamis, bisa menjadi manusia, bisa menjadi manusia yang bukan sekadar, ya berbuat karena berbuat, tetapi menjadi manusia yang benar-benar manusia, manusia yang memikul darma bakti – darma bakti bermacam-macam. Darma bakti kepada tanah airnya, darma bakti kepada Tuhannya, darma bakti kepada dirinya sendiri.” (BK saat menerima gelar DHC dari Universitas Indonesia, 2 Feb 1963)
MARI BEKERJA KERAS. Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka, pada 1949. “Sebaliknya, jikalau kita tidak bekerja keras, maka kekurangan-kekurangan kita itu akan tetap ada, bahkan akan bertambah-tambah makin lama makin ngeri, sebagai misalnya dalam hal urusan beras. Semboyan setengah orang: “perbaikilah nasib kita dulu, baru kita bekerja keras”, adalah satu semboyan yang salah, satu sembojan yang berdiri di atas kepalanya. Nasib kita tidak bisa menjadi baik, kalau tidak dibeli dengan usaha. Karena itu semboyan kita harus kebalikannya dari semboyan yang salah itu, dan harus berbunyi: “Mari bekerja keras, agar nasib menjadi baik”. Bung Karno, 20 Mei 1952.
KEADILAN SOSIAL. Bung Karno tengah menyapa dan bercakap-cakap dengan “Sarinem”, rakyat yang dicintai dan diperjuangkannya. “Rakyat padang pasir bisa hidup , masa kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masa kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita yang tolol, kita yang maha tolol”. Bung Karno Pidato Konferensi Kolombo Plan di Yogyakarta, 1953
MAHATMA. Bung Karno berpose bersama Jawaharlal Nehru saat akan diabadikan oleh Charles Breijer pembuat film dan sekaligus fotografer asal Belanda. Tampak Fatmawati Soekarno di belakang mereka berdua. Foto ini dibuat ketika Bung Karno mengunjungi negerinya Mohandas "Mahatma" Gandhi, India, pada Januari 1950. “Kapal jang membawa kita ke Indonesia-merdeka itu, ialah kapal-persatuan adanja! Mahatma, jurumudi jang akan membuat dan mengemudikan kapal-Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak dikemudian hari mustilah datang saatnya, jang sang Mahatma itu berdiri di tengah kita!!” Koleksi Foto; Fotomuseum Nederlands/Cas Oorthuys.
KEMERDEKAAN BERPIKIR. “...Kami menolak setiap pikiran untuk menukarkan kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan batin atau kemerdekaan lahir dengan keuntungan-keuntungan sementara...”. Pidato Bung Karno di Kongres Amerika, 1956. Bung Karno berpose bersama Yuri Gagarin, Nikita Kruschev (PM Soviet) dan Leonid Brezhev memberikan Bintang Mahaputera kepada kosmonot pertama tersebut saat melakukan kunjungan ke Soviet, pada 1961. Yuri Gagarin merupakan manusia pertama yang mengelilingi orbit bumi selama 108 menit, 12 April 1961. Koleksi Foto: Magnum Photos, agenci foto yang didirikan oleh para fotografer ternama, di antaranya Robert Capa, Henri Cartier-Bresson dan lain-lain.
WARTAWAN HARUS OBYEKTIF. Bung Karno tengah bercanda dengan salah seorang wartawan di Istana Merdeka, pada tahun 1966. Tampak dalam foto koleksi majalah life beberapa wartawan tertawa memperhatikan aksi Bung Karno tersebut. “Adakanlah penilaian yang obyektif terhadap tugas-tugas kewartawanan dalam rangka mengabdikan diri kepada masyarakat dan revolusi. Untuk ini, para wartawan hendaknya banyak membaca dan menambah wawasan pengetahuan sehingga akan dapat menguasai berbagai persoalan dalam rangka menunaikan tugas sebaik-baiknya" Ir. Soekarno, 11 Januari 1966.
BERSANDARKAN KEKUATAN RAKYAT. “Jika Rakyat kita dan para Pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangkan daya kreasinya, pastilah kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pastilah kita tidak perlu impor barang-barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat mengeskpor barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip “Berdiri diatas kaki sendiri” dalam ekonomi.” Ir. Soekarno, Berdikari, April 1965. [twitter: @grsdotcom]
DAHULUKAN YANG PENTING. Bung Karno sedang memberikan sambutan pada pembukaan Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Malang, 1947. Bung Hatta duduk disebelah Bung Karno, namun tak tampak dalam foto tersebut. “Ambeg Parama-arta” atau pandai “mendahulukan apa yang penting”, adalah selalu merupakan cita-cita luhur yang merangsang hati sanubari rakyat dan bangsa Indonesia sejak dahulu kala! Ambeg Parama-arta” adalah selalu merupakan rangsang-hebat dalam tiap-tiap kalbu putera Indonesia, untuk mengejar kesempurnaan budi dan karya dalam melaksanakan tugas-hidupnya! Ir. Soekarno, 1963. Foto: Cas Oorthuys; Koleksi Nederlands Fotomuseum. (twitter Ir Soekarno: @gsrdotcom)
16th April 1949: Indonesian president, Achmed Soekarno (Sukarno), greeting people on the island of Banka, where he has been detained by the Dutch authorities. Original Publication: Picture Post - 4749 - The Struggle For Indonesia - pub. 1949 (Photo by Bert Hardy/Picture Post/Getty Images)
SIFAT BAIK KITA BANGUN & NYALAKAN. Bung Karno sedang mengamati lukisan “Sumilah” karya Sudibjo pada suatu kunjungan pameran lukisan di Jakarta. Sudibjo tergabung dalam organisasi Senima Indonesia Muda (SIM) pimpinan Sindudarsono Sudjojono, Bapak Senirupa Modern Indonesia. “Pada tanggal 17 Agustus 1945 kita proklamirkan diri kita sebagai bangsa dan Negara yang merdeka.Dengan demikian kita menyatakan keinginan kita untuk mengadakan pembaruan dalam segala hal mengenai jasmani dan rochani kita sebagai bangsa. Keburukan-keburukan yang telah berurat – berakar kita basmi, kita bongkar, kita jebol, - sifat-sifat baik kita bangunkan, kita bangkitkan, kita nyala-nyalakan.” 1 Oktober 1946.
Foto: Koleksi tropenmuseum Belanda.

NATION BUILDING. Bung Karno bersama Ny. Fatmawati Soekarno sedang melihat pameran foto perjuangan bangsa Indonesia di Yogyakarta, pada tahun 1947 [?]. “…Aku sekedar bisa menyumbangkan sekedar daripada badanku, daripada jiwaku, daripada keringatku, yang dhaif, yang kecil ini, buat pembebasan tanah air Indonesia, buat nation building Indonesia, buat membentuk satu tanah air yang berisikan masyarakat adil dan makmur. Tapi aku minta kepadamu supaya engkau lebih besar daripada Bung Karno…” Bung Karno.

SOAL PRINSIP. Bung Karno sedang memberikan sambutan pada pembukaan Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Malang, pada 1947. Di foto koleksi Nederlands Fotomuseum karya Cas Oorthuys, fotografer asal Belanda, ini tampak Bung Hattaduduk disebelah Bung Karno. Dalam sidang tersebut Bung Hatta sempat mengancam akan mengundurkan diri bila sidang tidak menemui jalan keluar. “Sekarang kita boleh berdebat soal metode dan soal stijl, soal cara, dan soal gaya, tetapi kita tidak boleh berdebat lagi soal prinsip…” Bung Karno.


1 komentar:

  1. Bung Karno Presiden pertama RI benar-benar Bapak Bangsa. Tidak hanya dekat dengan rakyat maelainkan ingin membangun kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia.. semoga ada sosok seperti BungKarno lagi memimpin RI.

    BalasHapus